Nulis aja dulu.
Cerita dimulai saat diriku berada di tengah-tengah
sinetron yang terkenal dengan nama Roman Picisan atau ROMPIS, masa itu aku baru
saja menyelesaikan studi menengah atas atau pendidikan seragam putih abu-abu
hingga di saat bersamaan aku juga baru saja masuk ke dalam dunia perkuliahan.
Puisi yang di tuturkan sangat begitu menarik hati, bisa dikatakan bahwa
sinetron tersebut masih hot-hotnya di tahun 2017, hingga aku pun tertarik untuk
menontonnya berkali-kali sembari mendengar kata-kata picisan begitu pun ceritanya
yang sangat unik. Aku pun mulai memahami sedikit demi sedikit puisinya hingga
akhirnya, beberapa episode pun terlewatkan dan mengharap untuk bisa puitis
roman. Ah..., ku coba beberapa bait, ku tuliskan puisi dalam sebuah note
handphone, hingga aku bisa mengeposkannya di status whats app maupun story
instagram. Ah..., mimpi apa aku ini?! Memilih untuk menuliskan beberapa catatan
kecil yang masih kalah penting dari pada tugasku di kuliah. Ah..., salahkah Aku
menuliskannya? Salahkah aku memilihnya sebagai hobi???
Tahun mulai berganti, akhir 2018 aku menuliskan sebuah
buku yang masih belum terselesaikan dan berjudul “Hadiah untuk sahabat”,
menurutku karya ini adalah karya yang masih sangat amatir hingga setahun, belum
juga terselesaikan. Mimpi menjadi seorang penulis itu memang mudah...., tapi
tak semudah mewujudkannya. Risauku terhadap buku ini sebenarnya, semakin hari
semakin bertambah, sebab melahirkan sebuah karya adalah cita-cita kedua sebelum
tamat kuliah. Hmmm..., jujur yaa... selama aku menulis... khawatir, khawatir
dan khawatir itu selalu mempengaruhi pikiranku, hanya dengan alasan “Takut
tidak diterima oleh penerbit” apalagi saat ini aku masih pemula. Saat aku
menulis, usaha itu selalu menjadi pokok utama untuk menggapai suatu cita-cita
serta kedua adalah doa. Tak mengherankan, bahwa apa yang aku lakukan saat ini
hanya sebatas usaha tanpa doa, sehingga dapat mematahkan segala keberhasilan
dan kerja keras yang ku lakukan sebelumnya.
Menulis memang selalu terikat tempat dan waktu, inilah
sebabnya tulisan ku tak mulai muncul dan diproses di beberapa penerbit, tempat
yang sesuai bagiku adalah rumah, bagaimanapun rumah merupakan sebuah tempat
yang aman dan damai sehingga dapat aku memproduksikan kreativitas menulisku dan
mengatur waktu yang produktif dalam menulis. Sedangkan waktu adalah salah satu
masalah yang sedang ku hadapi saat ini, bagaimanapun waktu merupakan suatu alat
yang dapat menentukan pencapaian yang sudah ku lalui. Mengatur waktu yang tepat
untuk menulis merupakan suatu hal yang sulit dan harus dihindarkan oleh seorang
penulis, karena seorang penulis itu harus memiliki jiwa yang fleksibel dalam
menulis, apa pun alasannya yang bermacam-macam, mood-lah..., tugaslah...,
inilah..., itulah..., begitulah alasan yang dapat meruntuhkan semangat jiwa
seorang penulis. Efektivitas memang sangat diperlukan dalam kegiatan menulis,
tetapi bukan harus menunda untuk mencari keefektifannya tersebut. Menulis suatu
hal yang bodoh atau menjengkelkan, apakah perlu waktu yang efektif? Suatu hal
yang menjengkelkan terkadang dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari,
apalagi senda gurau, hal yang tak pernah terlepas dari sifat manusia.
Oleh karena itu, seorang penulis yang terhormat tidak
akan pernah melepaskan karyanya itu begitu tanpa terselesaikan dan bersarang
laba-laba. Bukankah ini merupakan salah satu akibat banyaknya para penulis yang
menganggur dari sejuta impian yang mereka harapkan??! Bercita-cita itu boleh,
asalkan punya ambisi dan target yang selalu menjadi harapan di penghujung
mimpi.
“Penulis yang baik itu
adalah penulis yang sudah menyiapkan karya berikutnya ketika karya sebelumnya
baru saja selesai”
-Tere Liye-
Comments
Post a Comment